Melasti di pantai Parangkusumo dihadiri oleh Bupati Bantul dan ribuan umat, Ternyata Ini Makna Melasti

Hindujogja.com | Pada tanggal 3 Maret 2024, Pantai Parangkusumo, Yogyakarta, menjadi saksi dari perayaan Melasti yang merupakan rangkaian perayaan tahun baru saka 1946 (Nyepi). Ribuan umat Hindu mengikuti  upacara melasti ini, yang memiliki makna mendalam dalam membersihkan diri secara lahir dan batin serta memurnikan alam

Dalam Laporannya,  Ketua Panitia Melasti di Pantai Parangkusumo yang juga merupakan Ketua PHDI Kabupaten Bantul Bapak Dwi Winarto menyampaikan, bahwa berlaku sebagai manggala upacara Ide Begawan Putra Manuaba, Ida Sri Bhagawan Dalem Acarya Mahakerti Wira Jagat Manik, dan Sira Empu Putra Girinata.

Acara dihadiri oleh Bupati Bantul Bapak H. Abdul Halim Muslih, Pembimas Hindu kanwil Kemenag DIY Bapak Didik Widya Putra, Ketua PHDI Provensi DIY Bapak Drs. Nyoman Warta, M.Hum. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul, Kanit Humas Polres Bantul, Panewu Kecamatan Kretek, Panewu Kecamatan Banguntapan, Ketua Nyepi tahun 2024, Ketua WHDI Provensi DIY, Ketua PHDI Kabupaten Kota, dan ribuan umat sedharma seprovensi DIY dan sekitarnya. Dalam upacara tersebut, hadir juga dari Keraton kasunan solo dan Mangkunegaran, ingin berdoa bersama umat Jogja.

Rangkaian perayaan Nyepi Saka 1946 tahun 2024 mencakup berbagai kegiatan, seperti atur piuning sebagai awal rangkaian kegiatan nyepi, pembinaan generasi muda dan pasraman, bakti sosial, reresik segoro, dan upacara Melasti yang diadakan pada hari ini. Selanjutnya, akan dilaksanakan Tawur Agung di Candi Prambanan pada tanggal 10 Maret 2024, diikuti oleh Puncak Nyepi pada tanggal 11 Maret 2024, dan akhirnya Dharma Santi, Demikian Dwi Winarto melaporkan

Dalam Sambutan Pembimas Hindu Kanwil Kemenag DIY Bapak Didik Widya Putra, mengucapkan terimakasih atas kehadiran Bupati Bantul sebagai wakil pemerintahan yang merupakan salah satu guru wisesa dalam catur guru. Selain itu Pembimas juga menyampaikan Pentingnya Melasti dalam Rangkaian Upacara Nyepi, Pembimas Hindu menekankan bahwa Melasti merupakan salah satu rangkaian upacara yang sangat penting dalam menyambut perayaan Nyepi. Ritual ini memiliki makna mendalam dalam membersihkan diri secara lahir dan batin serta mempersiapkan diri untuk memasuki masa refleksi dan kontemplasi selama Nyepi. Pembimas juga mohon dukungan Bupati Bantul untuk dapat mendukung pendidikan umat hindu di DIY, ini terkait dengan Peraturan Menteri Agama tentang Widyalaya agar umat hindu di DIY khususnya di Bantul mendapatka pendidikan yang setara dengan umat lain. Pembimas juga melaporkan bahwa Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten sudah mendapat persetujuan oleh PANRB sebagai sekolah tinggi negeri, semoga upaya pengembangan pendidikan Hindu yang lebih luas dan berkualitas bisa terwujud. Mengenai Revitalisasi Birokrasi  KUA untuk Semua Agama, Pembimas Hindu menyambut baik ide ini. Sambutan Pembimas diakiri dengan memohon dukungan Bupati untuk acara-acara keagamaan hindu khususnya di Bantul tidak berhenti sampai disini, bahkan ditahun-tahun mendatang diharapkan akan lebih besar lagi.

Baca juga :   Inilah Manajemen Keluarga untuk membangun keluarga sukinah

Mengawali sambutan Bupati Bantul Bapak H. Abdul Halim Muslih, Beliau mengucapkan selamat merayakan Hari Nyepi 1946 kepada seluruh umat Hindu di Jogja. Ucapan ini mencerminkan rasa hormat dan penghargaan atas perayaan agama Hindu yang penting bagi masyarakat hindu. Bupati menyampaikan impian dan harapannya untuk terwujudnya sebuah kehidupan yang harmonis di Kabupaten Bantul. Dia mengacu pada konsep “Memayuhayuning Bawono”, atau harmoni alam semesta, yang merupakan prinsip penting dalam kehidupan masyarakat Hindu. Bupati mengungkapkan impiannya agar Kabupaten Bantul dapat menjadi contoh bagi kehidupan harmonis, di mana semua elemen masyarakat dapat hidup berdampingan dengan damai, tanpa memandang perbedaan agama. Bupati membuka acara melasti secara resmi dengan pemukulan gong didampingi oleh tokoh agam hindu.

Dalam Dharma Wacana yang disampaikan oleh Ketua Walaka PHDI Provensi DIY Bapak Ir. Ida Bagus Agung, MT. menyampaikan Melasti diartikan sebagai nganyudang malaning gumi ngamet tirta amertha, yang bermakna menghanyutkan atau membuang segala kotoran alam menggunakan air suci. Ini mencakup segala dosa baik dalam diri manusia (wan alit) maupun yang ada di dunia (wan agung). Selain itu, Melasti juga dilakukan untuk membersihkan Pralingga atau alat-alat persembahyangan.

Tujuan Melasti:

  1. Ngiring Prewatek Dewata: Upacara Melasti dimulai dengan memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Ini bertujuan agar umat dapat mengikuti tuntunan para dewa sebagai manifestasi Tuhan.
  2. Anganyutaken Laraning Jagat: Melasti bertujuan untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, memotivasi umat secara ritual dan spiritual untuk melenyapkan penyakit-penyakit sosial.
  3. Papa Kelesa: Melasti menuntun umat agar menghilangkan kepapanan secara individual. Ada lima lesa yang harus dihilangkan agar seseorang tidak menderita, antara lain kegelapan, egois, pengumbaran nafsu, sifat pemarah, dan rasa takut tanpa sebab.
  4. Letuhing Bhuwana: Melasti bertujuan untuk meningkatkan kesadaran umat Hindu akan pentingnya menjaga kelestarian alam lingkungan, serta menghilangkan sifat-sifat manusia yang merusak alam.
  5. Ngamet Sarining Amerta Ring Telenging Segara: Ini berarti mengambil sari-sari kehidupan dari tengah lautan, yang mengandung muatan nilai-nilai kehidupan yang sangat universal.
Baca juga :   Menuai Karma Melalui Ajaran Dharma: Menghubungkan Tindakan Positif dan Konsekuensi

Dari kutipan Lontar Sunarigama dan Sanghyang Aji Swamandala, “Melasti ngarania ngiring prewatek dewata angayutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana” memiliki arti “Melasti dimulai dengan memuja Tuhan dengan segala manifestasinya dan diikuti dengan menghanyutkan penderitaan masyarakat serta membersihkan diri dari segala kejelekan untuk meningkatkan kesadaran akan kelestarian alam.”

Ida Bagus Agung, juga menyampaikan tentang Konsep Tri Mala yang mengajarkan bahwa manusia hidup dalam keseimbangan antara tiga aspek Bhur (alam fisik), Bhuvah (alam astral), Swah (alam spiritual). Dengan menyadari dan mengatasi Panca Klesa yang menjadi belengu pikiran, manusia dapat membebaskan diri dari belenggu pikiran yang menghalangi pertumbuhan spiritual dan pencapaian kedamaian sejati.

Kelima Panca Klesa tersebut adalah:

  1. Avidya (Ketidaktahuan): Merujuk pada kegelapan pikiran atau ketidakmengertian tentang hakikat sejati diri dan realitas. Avidya membuat manusia terjebak dalam kesadaran yang terbatas, yang menghalangi pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran universal.
  2. Asmita (Egoisme): Menyatakan bahwa manusia sering kali terjebak dalam identitas egois mereka, mengidentifikasi diri dengan hal-hal yang sementara dan terbatas. Asmita memicu kesalahpahaman tentang keberadaan sejati dan menghalangi pengalaman kesatuan dengan alam semesta.
  3. Raga (Kekuatan Nafsu): Merujuk pada keinginan dan hawa nafsu yang tak terkendali terhadap kenikmatan materi dan sensorik. Raga membuat manusia terikat pada hasrat dan keinginan duniawi yang tak terbatas, memicu penderitaan dan ketidakpuasan.
  4. Dwesha (Kebencian): Menyatakan bahwa manusia sering kali terjebak dalam perasaan benci, marah, atau dendam terhadap diri sendiri atau orang lain. Dwesha menghalangi perdamaian batin dan menghasilkan konflik interpersonal yang tidak perlu.
  5. Abhinivesha (Rasa Takut akan Kematian atau Kekuatan Nafsu untuk Hidup): Merujuk pada ketakutan akan kematian atau dorongan nafsu untuk mempertahankan kehidupan. Abhinivesha membuat manusia terikat pada dunia materi dan menghalangi pengalaman kedamaian batin yang sejati.
Baca juga :   Hukum Karma dalam Perspektif Hindu: Penjelasan dan Implikasinya

Panca Klesa merupakan  lima belenggu pikiran dalam ajaran filsafat Hindu, yang menghalangi manusia dari mencapai kebebasan sejati dan kedamaian batin. Demikian Dharma Wacana yang disampaikan oleh Ide Bagus Agung.

Rangkaian upacaran melasti diakhiri dengan Ngayab Biyakala, Durmangala, dan Prayascita, dilanjutkan persembahyangan, nunas tirta wangsuhpada, dan sebagai bagian akhir dari upacara melasti yaitu angayutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana”  menghanyutkan penderitaan, serta membersihkan diri dari segala kekotoran untuk meningkatkan kesadaran spiritual dengan membawa seluruh sarana (jempana dari masing-masing pura) untuk disucikan dengan menyentuhkannya ke air laut diikuti seluruh umat hindu yang hadir. Mds

Please follow and like us:
fb-share-icon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *